Produksi buku Islam yang terus meningkat ternyata tak sebanding dengan tingkat pemasarannya. Minimnya toko buku Islam membuat banyak buku disimpan di rak penerbit karena terkendala distribusi. Jaringan toko buku yang 'berkuasa' saat ini dinilai mempersulit penjualan buku Islam. “Buku Islam terkendala distribusi, sebab jaringan distribusi buku saat ini dikuasai oleh non-Muslim,” kata Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta Afrizal Sinaro.
Menurutnya, lebih dari 80 persen jaringan distribusi tak dikuasai Muslim. Akibatnya, para penerbit buku Islam sangat bergantung pada jaringan distribusi tersebut. Dia menjelaskan, saat ini hanya ada beberapa toko buku Islam besar, seperti Walisongo dan Gunung Agung. Menurutnya, realitas tersebut sangat memprihatinkan di tengah populasi Muslim yang menjadi mayoritas.
Afrizal mengungkapkan, sebetulnya bisnis toko itu menggiurkan. Terbukti sejumlah toko buku milik non-Muslim yang saat ini ada terus berkembang. Dia menjelaskan, margin bersih toko buku minimal 20 persen. Menurutnya, semua buku yang dijual di toko buku sifatnya konsinyasi.
Di samping itu, umur pakai buku-buku Islam itu sangat panjang, bahkan sepanjang hayat. Misalnya, buku //Penuntun Ibadah Shalat//. Sampai Hari Kiamat, tuturnya, buku ini tetap dibaca orang.
Karena itu, kata Afrizal, kalangan penerbit buku Islam sangat berharap para konglomerat Muslim mau menerjuni bisnis toko buku Islam. Dia menjelaskan, Ikapi siap membantu memberikan masukan jika ada konglomerat Muslim yang berniat mengembangkan toko buku Islam.
Direktur Penerbit Akbar, Muhammad Anis Baswaedan, mengeluhkan sulitnya berjualan di toko buku besar saat ini. Menurutnya, buku-buku Islam hanya mendapatkan tempat kecil di bagian depan. “Buku-buku Islam hanya ada di satu pojok saja, selebihnya adalah buku-buku umum,” tuturnya.
Dengan cara penjualan seperti itu, dia menilai, akses masyarakat untuk mendapatkan buku Islam dipersulit. Padahal, minat baca secara umum semakin meningkat. Kendala distribusi tersebut, kata dia, juga menghambat industri perbukuan Islam itu sendiri.
Dia menilai, kalau distribusinya lancar, maka penerbit bisa mencetak buku Islam dalam jumlah yang besar. Harganya pun bisa ditekan dan menjangkau masyarakat yang luas. \"Dengan keterbatasan distribusi saat ini, mencetak buku 3.000 eksemplar saja, menjualnya setengah mati,” paparnya.
Chief Editor Penerbit Republika Irwan Ariefyanto menawarkan solusi untuk permasalahan tersebut. Menurutnya, penerbit-penerbit yang memang fokus di konten Islam seharusnya bersatu. Para penerbit harus membuat terobosan supaya buku Islam menyebar di Indonesia. Dia menilai, selama ini penyebaran buku Islam, khususnya di Indonesia timur kerap terkendala.
Menurutnya, jaringan toko buku non-Muslim yang saat ini menguasai pasaran memang sudah kuat. Irwan menjelaskan, mereka saat ini menjadi penguasa di industri penerbitan. \"Kita sebenarnya sudah punya konsep seperti di Gunung Agung. Tapi, kan tidak massif,\" ujarnya.
Di sisi lain, banyak karya Islam, khususnya untuk karya fiksi meraih predikat best seller yang angka penjualannya hingga sekarang sulit disaingi. Dia memberi contoh, Novel Ayat-Ayat Cinta yang ditulis Habiburrahman el Shirazy. Beberapa judul lain, yakni Negeri Lima Menara dan 99 Cahaya di Langit Eropa pun meraih predikat sama.
Jika sudah mendapatkan predikat best seller maka jejaring toko buku mainstream yang notabene non-Muslim mendapatkan untung. Pasalnya, tutur Irwan, memang jumlah toko buku Islam masih sangat minim. Padahal, jika saja pengusaha Muslim mau berinvestasi ke pemasaran buku Islam maka akan mendapatkan laba besar.
Dia pun merujuk pada festival buku Islamic Book Fair (IBF) yang saban tahun diadakan. Hingga saat ini, ujarnya, IBF merupakan pameran buku dengan jumlah pengunjung terbesar. Festival tersebut pun kerap menjadi masa panen bagi penerbit buku Islam pada awal tahun.
Sumber : http://www.republikapenerbit.com/artikel/detail_info/516
Tidak ada komentar:
Posting Komentar