Dalam Sejarah Suriah, Tak Pernah Orang Bertanya "Apakah Anda Sunni atau Syiah?"
Keluarga Sunni-Syiah Zahir & Lina (RT.com Photo/Nadezhda Kevorkova) |
IPABIonline.com - Masih berpikir perang di Suriah adalah perang agama? Bersiaplah mengubah pandangan Anda setelah mendengar kisah Zahir dan Lina, sepasang suami istri asal Suriah ini.
Kelompok militan asing yang turut memorakporandakan Suriah pasti tak peduli tentang hubungan antar-keyakinan yang berabad-abadterjalin di Suriah. Bahkan mungkin mereka tak sadar bahwa istri Presiden Bashar al-Assad adalah seorang Sunni. Mengakui hal itu akan menjungkirbalikkan gagasan dasar perang Suriah, di mana kelompok Sunni dikatakan berkonflik dengan kelompok Alawiyah dan Syiah.
Kasus keluarga campuran Sunni-Syiah bukan monopoli Bashar al-Assad—di Suriah, pernikahan campuran seperti itu banyak sekali. Keluarga-keluarga inilah yang menjungkirbalikkan konsep “perang agama” antara Sunni-Syiah di Suriah. Dua setengah tahun upaya memecah belah Suriah atas dasar latar belakang agama praktis gagal total sebagian karena pernikahan campuran ini.
Coba saja kita temui suami-istri Zahir and Lina. Keduanya terpaksa mengungsi dari rumah mereka di Homs, Suriah pada November 2011, dan kini tinggal di Lembah Beqaa, Lebanon. Apartemen mereka sempat menjadi sasaran rudal pada April lalu.
Zahir seorang Sunni, Lina penganut Syiah. Lina mengenakan burqa khas Syiah yang berwarna hitam. Dia mengenakannya sejak saat masih tinggal di Suriah, juga saat berangkat mengungsi, yaitu ketika kaum militan di Suriah mulai melakukan pembunuhan terhadap kaum Syiah.
Sepanjang hidupnya, Lina mengenal banyak sekali keluarga Sunni yang mendukungnya benar-benar karena dia seorang Syiah yang membutuhkan perlindungan. Baik Zahir maupun keluarganya, tak pernah mempertanyakan mengapa laki-laki itu menikahi seorang perempuan Syiah. Demikian juga keluarga Lina tak pernah mempertanyakan hal itu, meski kedua anak mereka mengikuti sang ayah sebagai penganut Sunni.
Keluarga Zahir dulunya memiliki perusahaan kecil yang memproduksi tas tangan wanita. Dan di lokasi pabrik itulah perang Suriah berawal, menghancurkan sumber penghasilan keluarga tersebut. Semua tetangga Zahir yang Sunni kemudian mengungsi ke kawasan Syiah di Lebanon.
Waktu ditanya, mengapa keluarga dan tetangga-tetangganya yang Sunni tidak memihak pemberontak, Zahir menjawab: “Karena kami melihat bahwa para militan dan banditlah yang ada di sana—mendukung mereka jelas bukan pilihan. Yang memberontak sama sekali bukan warga yang tak puas dengan Bashar Assad, tapi para militan dan bandit.”
“Dalam sejarah, tak pernah kami di Suriah mendengar orang bertanya, ‘Apakah Anda Sunni?’ atau ‘Apakah kamu Syiah?’” Ujar Zahir. Dia pun menambahkan, “Kalau kami persoalkan perbedaan Sunni-Syiah, tak akan mungkin saya menikah dengan istri saya ini.”
Kelompok militan asing yang turut memorakporandakan Suriah pasti tak peduli tentang hubungan antar-keyakinan yang berabad-abadterjalin di Suriah. Bahkan mungkin mereka tak sadar bahwa istri Presiden Bashar al-Assad adalah seorang Sunni. Mengakui hal itu akan menjungkirbalikkan gagasan dasar perang Suriah, di mana kelompok Sunni dikatakan berkonflik dengan kelompok Alawiyah dan Syiah.
Kasus keluarga campuran Sunni-Syiah bukan monopoli Bashar al-Assad—di Suriah, pernikahan campuran seperti itu banyak sekali. Keluarga-keluarga inilah yang menjungkirbalikkan konsep “perang agama” antara Sunni-Syiah di Suriah. Dua setengah tahun upaya memecah belah Suriah atas dasar latar belakang agama praktis gagal total sebagian karena pernikahan campuran ini.
Coba saja kita temui suami-istri Zahir and Lina. Keduanya terpaksa mengungsi dari rumah mereka di Homs, Suriah pada November 2011, dan kini tinggal di Lembah Beqaa, Lebanon. Apartemen mereka sempat menjadi sasaran rudal pada April lalu.
Zahir seorang Sunni, Lina penganut Syiah. Lina mengenakan burqa khas Syiah yang berwarna hitam. Dia mengenakannya sejak saat masih tinggal di Suriah, juga saat berangkat mengungsi, yaitu ketika kaum militan di Suriah mulai melakukan pembunuhan terhadap kaum Syiah.
Sepanjang hidupnya, Lina mengenal banyak sekali keluarga Sunni yang mendukungnya benar-benar karena dia seorang Syiah yang membutuhkan perlindungan. Baik Zahir maupun keluarganya, tak pernah mempertanyakan mengapa laki-laki itu menikahi seorang perempuan Syiah. Demikian juga keluarga Lina tak pernah mempertanyakan hal itu, meski kedua anak mereka mengikuti sang ayah sebagai penganut Sunni.
Keluarga Zahir dulunya memiliki perusahaan kecil yang memproduksi tas tangan wanita. Dan di lokasi pabrik itulah perang Suriah berawal, menghancurkan sumber penghasilan keluarga tersebut. Semua tetangga Zahir yang Sunni kemudian mengungsi ke kawasan Syiah di Lebanon.
Waktu ditanya, mengapa keluarga dan tetangga-tetangganya yang Sunni tidak memihak pemberontak, Zahir menjawab: “Karena kami melihat bahwa para militan dan banditlah yang ada di sana—mendukung mereka jelas bukan pilihan. Yang memberontak sama sekali bukan warga yang tak puas dengan Bashar Assad, tapi para militan dan bandit.”
“Dalam sejarah, tak pernah kami di Suriah mendengar orang bertanya, ‘Apakah Anda Sunni?’ atau ‘Apakah kamu Syiah?’” Ujar Zahir. Dia pun menambahkan, “Kalau kami persoalkan perbedaan Sunni-Syiah, tak akan mungkin saya menikah dengan istri saya ini.”
Sumber : Islam Indonesia
Read more: http://www.ipabionline.com/2013/12/dalam-sejarah-suriah-tak-pernah-orang.html#ixzz2tS9pxmjL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar