Kamis, 20 Februari 2014

DIALOG SAYYIDINA HUSAIN DAN UMAR BIN SA’AD DI KARBALA

Sayyidina Husain (demi menyempurnakan hujjah) mengirim pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa beliau ingin bertemu dan berbicara dengannya. Umar bin Sa’ad menerima undangan Al-Husain. Dirancanglah sebuah pertemuan antara kedua pasukan, Umar bin Sa’ad dengan dua puluh pasukannya dan Al-Husain dengan dua puluh sahabatnya.
Dalam pertemuan itu, Sayyidina Husain berkata kepada para sahabatnya, “Kalian keluar dari majelis ini kecuali Abbas dan Ali Akbar.” Umar bin Sa’ad juga berkata kepada pasukannya, “Kalian keluar dari majelis ini, kecuali anakku Hafsh dan budakku.” Kemudian terjadilah dialog.
Sayyidina Husain berkata, “Celakalah engkau! Hai Umar bin Sa’ad, apakah engkau tidak merasa takut pada saat kembali kepada Allah, karena memerangiku? Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera Fatimah dan Ali…. Hai Ibnu Sa’ad! Tinggalkanlah mereka (orang-orang Yazid) dan bergabunglah bersama kami. Itu amat baik bagimu, dan engkau akan dekat dengan Allah.” Umar bin Sa’ad berkata, “Saya khawatir mereka akan menghancurkan rumahku.”
Al-Husain, “Kalau mereka menghancurkannya, aku akan membangunnya kembali.”
Umar bin Sa’ad, “Saya khawatir mereka akan merampas kebunku.”
Al-Husain, “Kalau mereka merampasnya, aku akan memberimu tanah yang ada di Hijaz, yang terdapat mata air yang ingin dibeli Muawiyah dengan ribuan dinar, namun tidak dijual kepadanya.”
Umar bin Sa’ad, “Saya punya anak isteri. Saya khawatir mereka akan diganggu dan disiksa.”
Sayyidina Husain terdiam. Beliau tidak memberi jawaban. Lalu beliau bangkit dan menjauh darinya, seraya berkata, “Apa yang telah engkau perbuat? Semoga Allah membunuhmu di tempat tidurmu. Semoga di hari kiamat, Allah tidak mengampunimu. Dan semoga engkau tidak memakan gandum dari kota Rayy, kecuali hanya sedikit.”
Umar bin Sa’ad menjawab dengan nada mengejek, “Cukup sya’irnya saja(maksudnya, jika tidak memakan gandumnya, saya cukup memakan sya’ir – sejenis gandum kualitas rendahan – nya.”
Betapa keji Umar bin Sa’ad. Semoga Allah menimpakan siksaan yang setimpal. Jawaban terakhirnya kepada Al-Husain sungguh tidak masuk akal. Dirinya begitu takut dan khawatir terhadap nasib keluarganya (yang katanya akan disiksa dan disakiti). Namun, hatinya tidak merasa sedih apabila keluarga Rasulullah dan puteri-puteri Fatimah disiksa dan disakiti.
Hamid bin Muslim berkata bahwa dirinya adalah teman Umar bin Sa’ad. Setelah peristiwa Karbala, ia bertemu dengan Umar dan menanyakan keadaannya. Umar menjawab, “Jangan engkau bertanya keadaanku. Tak seorang pun yang bepergian lalu kembali ke rumah dengan memikul dosa sebesar yang saya pikul, saya telah memutus hubungan keluarga dan melakukan dosa yang sangat besar(antara Umar bin Sa’ad dengan Imam Husain masih terdapat hubungan kekerabatan, mengingat ayah Umar bin Sa’ad [Sa’ad bin Waqqash] adalah cucu Abdul Manaf-kakek ketiga Rasulullah SAW).”
KEBERANIAN LELAKI TAK DIKENAL
Yazid mengeluarkan perintah untuk membunuh Muslim bin Aqil serta Hani bin Urwah. Setelah syahid, kepala keduanya dipisahkan dari tubuh masing-masing. Lalu sekelompok orang yang tidak berperikemanusiaan mengikat jasad Muslim bin Aqil, dan diseret keluar-masuk lorong-lorong di Kufah.
Salah seorang pengikut Sayyidina Husain yang gagah berani bernama Hanzhalah bin Murrah Hamdani yang tengah menunggang kuda, menyaksikan pemandangan amat mengenaskan itu. Ia lalu bertanya kepada orang-orang itu, “Hai warga Kufah! Apa kesalahan yang telah dilakukan lelaki ini (Muslim bin Aqil) sehingga kalian menyeretnya semacam itu?”
Mereka menjawab, “Orang ini adalah khariji. Ia telah menentang perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah.”
Hanzhalah berkata, “Demi Allah, siapakah nama orang ini?”
Mereka menjawab, “Muslim bin Aqil anak paman Al-Husain?”
Hanzhalah menjawab, “Celakalah kalian yang mengetahui bahwa ia  adalah anak paman Al- Husain. Lalu, mengapa kalian membunuhnya dan jenazahnya kalian seret ke sana ke mari?”
Kemudian Hanzhalah turun dari kudanya, mengeluarkan pedang dari sarungnya, dan menyerang mereka, seraya menjerit, “Duhai Tuanku, sama sekali tak ada kebaikan dalam hidupku sepeninggalmu!” Ia terus bertempur melawan mereka. Hasilnya, empat orang dari mereka terbunuh. Ia akhirnya dikepung dari berbagai penjuru dan dijemput kesyahidan. Mereka lalu mengikat kakinya dan menyeret jasadnya sampai ke alun-alun Kunasah di Kufah dan dibiarkan tergeletak di sana.
ISTERI MAITSAM AL-TAMMAR YANG GAGAH BERANI
Maitsam al-Tammar adalah salah seorang sahabat Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia adalah sosok yang amat mulia dan gagah berani. Atas perintah Ibnu Ziyad, sepuluh hari menjelang kedatangan Sayyidina Husain ke Karbala, ia dibunuh dan digantung. Ia memiliki seorang isteri pemberani dan teramat tegar di jalan Islam. Inilah cuplikan salah satu keberaniannya.
Sesuai perintah Ibnu Ziyad, jenazah Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah dan Hanzhalah bin Murrah tanpa dimandikan dan dikafani dibiarkan tergeletak di alun-alun Kunasah di Kufah. Tak seorang pun yang berani mengambil dan menguburkan jasad mereka.
Isteri Maitsam yang pemberani itu, memutuskan menguburkan mereka. Di tengah malam, tatkala orang-orang tengah tidur terlelap, diam-diam ia membawa ketiga jenazah itu ke rumahnya. Malam itu juga, jenazah-jenazah itu di bawa ke samping Masjid Agung Kufah. Di situ, ia menguburkan mereka dalam keadaan bersimbah darah suci. Tak seorang pun yang mengetahui kejadian ini selain tetangganya, yakni isteri Hani bin Urwah.
Betapa mulia wanita pemberani itu. Ia benar-benar layak menjadi isteri Maitsam. Ya, pribadi semacam Maitsam, selayaknya memiliki isteri yang punya keberanian semacam itu. Inilah hasil dari usaha keras sang suami dalam membina, mendidik dan menjadikan isterinya begitu cerdas dan bertanggung jawab.
TAUHID MURNI
Suatu hari, Rasulullah SAW bersabda kepada sekumpulan orang, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah, dengan ikhlas mengakui keesaan-Nya, dan kesaksiannya atas keesaan Allah itu tidak dicampuri dengan yang lain, pasti akan masuk surga.”
Sayyidina Ali kw berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah! Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Bagaimanakah mengucapkan kalimat ‘tiada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah)’ secara murni? Dan bersaksi atas keesaan Allah tanpa dicampuri sesuatupun? Jelaskanlah kepada kami, agar kami mengetahuinya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Benar, jika hatinya terikat dengan dunia, manusia memperolehnya (dunia) dengan jalan yang tidak dibenarkan syariat. Pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang-orang yang luhur, namun perbuatan dan perilaku mereka, seperti perilaku orang-orang zalim, dan bila seorang yang bersaksi atas keesaan Allah (dengan mengucapkan la ilaha illallah) sementara berbagai perkara tersebut – terikat dengan dunia, memperoleh dunia dengan cara melanggar syariat, berperilaku  sebagaimana perilaku orang-orang zalim – tak ada pada dirinya, maka ia layak mendapatkan surga.”
NILAI MENCINTAI DAN MENELADANI AHLUL BAIT RASULULLAH SAW
Muyassir bin Abdul Aziz (seorang pecinta setia Ahlul Bait yang tulus dan murni) mengatakan bahwa dirinya menemui Imam Ja’far al-Shadiq seraya berkata, “Di sekitar rumah saya, ada seorang lelaki yang karena mendengar suaranya, saya terbangun di malam buta untuk menunaikan shalat malam, terkadang ia membaca Al-Quran dan mengulang-ulang bacaan ayat-ayat Al-Quran sambil menangis, dan adakalanya memanjatkan doa diringi rintihan. Saya ingin sekali mengetahui keadaannya. Orang-orang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan dosa apapun (alhasil saya memiliki seorang tetangga yang amat bertakwa).” Imam  ja’far Shadiq bertanya, “Apakah ia juga menerima apa yang engkau yakini (mencintai Ahlul Bait)?” Muyassir menjawab, “Saya tidak menyelidikinya, Allah yang tahu.” Setelah pertemuan itu, waktu terus bergulir hingga tibalah musim haji di tahun berikutnya. Sebelum berangkat ke Mekah, ia menyelidiki keadaan tetangganya itu. Ternyata, tetangganya itu tidak mencintai Ahlul Bait. Lalu ia pergi menunaikan haji. Sesampainya di Mekah, ia menemui Imam Ja’far Shadiq.
Setelah menanyakan keadaan beliau, ia menceritakan kembali keadaan tetangganya itu yang senantiasa membaca Al-Quran dan berdoa sambil menangis dan merintih. Imam lagi-lagi bertanya, “Apakah ia meyakini apa yang engkau yakini?” saya menjawab, “Tidak.” Imam berkata, “Wahai Muyassir! Tanah manakah yang paling dimuliakan?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya, serta keturunannya yang tahu.” Beliau berkata, “Tanah paling mulia adalah tanah yang terletak antara rukn dan maqam (antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim). Tanah itu merupakan taman dari taman surga. Begitu pula tanah di antara kubur Rasulullah SAW dan mimbar beliau SAW, juga merupakan taman dari taman surga.”
“Demi Allah, kalau seseorang berumur panjang dan beribadah selama seribu tahun di antara rukn dan maqam dan di antara kubur dan mimbar Rasulullah SAW, lalu dibantai secara zalim dan tanpa dosa di tempat tidurnya, dan dalam keadaan itu ia berjumpa dengan Allah, namun tidak mencintai dan meneladani kami, Ahlul Bait, maka layak bagi Allah untuk memasukkannya ke neraka jahanam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar