Saatnya Bangsa Indonesia Ambil Alih Perusahaan Asing!
Tambang Grasberg yang Dikelola Oleh Freeport. (foto: tambangnews.com) |
"Bangsa Indonesia Harus Mengelolanya Sendiri"
IPABIonline.com - PT Freeport Indonesia menyatakan bahwa perusahaannya telah mendapat izin dari pemerintah untuk melakukan ekspor barang tambang yang belum diproses. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Freeport menyusul PT Aneka Tambang (ANTM) dan PT Sebuku Lateric Iron Ore yang telah lebih dulu mendapatkan izin ekspor dari Kementerian Perdagangan1. Padahal, pada wal bulan Mei 2012, Kementerian Perdagangan mulai memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah bagi perusahaan pertambangan yang tidak memiliki pabrik pengolahan atau pemurnian sendiri.
Perkecualian masih diberikan oleh pemerintah untuk para pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) guna melakukan ekspor barang tambang mentah, asalkan perusahaan yang bersangkutan menyerahkan proposal untuk membangun usaha pemurnian dan pengolahan di negeri ini. Pemerintah bahkan menawarkan insentif bagi pemilik IUP yang berencana membangun pabrik pengolahannya sendiri.
Sikap menduanya pemerintah ini, tampaknya banyak dimanfaatkan oleh pihak perusahaan pertambangan untuk terus menangguk untung dengan memperpanjang masa kontrak ekspor. Sementara ancaman dari pihak Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) menyatakan bahwa penetapan kebijakan tersebut bisa mengakibatkan ekspor nikel dan bauksit dari Indonesia menurun hingga sebesar 75%.
Dalam pertemuan di provinsi Bangka Belitung pada tanggal 28 Oktober 2011, setidaknya 15 produsen timah di Indonesia menyatakan akan memperpanjang pelarangan ekspor hingga akhir tahun 2011.
Pelarangan ekspor tersebut telah berlangsung sejak tanggal 1 Oktober 2011, akibat merosotnya harga ekspor timah hingga 17% di bulan September terkait krisis Eropa.
Pelarangan ekspor timah dari Indonesia telah membuat pasokan timah dunia terganggu, karena Indonesia merupakan pengekspor timah terbesar di dunia dengan 40% dari total ekspor timah dunia. Indonesia selama ini memang hanya terkenal sebagai pengekspor logam mentah seperti bijih besi, bijih nikel, bauksit, serta emas. Menurut pemerintah, pelarangan ekspor tersebut dilakukan untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia sekaligus melonjakkan kapasitas peleburan bijih besi serta menciptakan lapangan pekerjaan di negeri ini.
Eksploitasi sumber daya alam baik emas maupun tembaga yang dilakukan PT. Freeport di tanah Papua dinilai merugikan bangsa Indonesia. Pasalnya, dari komposisi saham yang dimiliki PT.Freeport Indonesia sebesar 90,64 persen dan pemerintah Indonesia hanya memegang 9,36 persen saham Freeport, maka royalti yang diberikan kepada bangsa Indonesia hanya sebesar satu persen.
Melihat hal tersebut, Wakil Ketua Umum Gerakan Pemuda Sehat Ali Muksin menilai pihaknya keberatan atas rencana renegosiasi kontrak karya yang akan dilakukan pemerintah Indonesia. Seharusnya, bangsa Indonesia yang harus mengambil alih dari perusahaan tambang Amerika Serikat itu dari Tanah Cendrawasih.
Kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dan Freeport dikuatkan dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 dan UU Nomor 11 Tahun tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan PP No 20/1994 dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara serta Permen Nomor 7 tahun 2012. Dan kontrak karya dinilai hanya menguntungkan PT.Freeport dan merugikan bangsa Indonesia.
Dalam proses kontrak karya pemerintah dengan perusahaan asing dengan aset yang amat besar, pemerintah telah menghilangkan hak hidup bangsa sendiri, seperti persoalan divestasi 51% yang tidak pernah dibicarakan dalam kontrak karya.
Merebaknya konflik tanah dan tambang akhir-akhir ini disinyalir terjadi karena kedaulatan rakyat dalam mengolah kekayaan alam terampas. Menurut Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Agus Jabo Priyono, praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha turut memperkeruh keadaan karena tak ada bagi hasil yang adil bagi rakyat di area perkebunan maupun tambang milik swasta atau pemerintah.
Konflik tanah dan tambang terjadi akibat amanat dalam pasal 33 UUD 1945 tentang kekayaan alam dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat dikebiri oleh pemerintah. Rakyat di lokasi tambang maupun perkebunan, menurutnya, tidak pernah merasakan hasil eksploitasi dan justru rakyat semakin terpinggirkan. Marjinalisasi tersebut akan menggerakkan rakyat untuk melawan tindakan sewenang-wenang pemerintah dan pengusaha karena ketidakadilan dirasa sangat merugikan rakyat.
Seperti yang diketahui, konflik tanah di Ogan Ilir Sumatera Selatan dipicu oleh sengketa tanah antara PTPN dan warga. Sebelumnya terdapat perkara yang serupa di Mesuji, Lampung. Perkara konflik tambang terjadi di Bima dan Timika. Konflik tanah dan tambang menyebabkan jatuhnya korban dari kalangan warga karena aparat keamanan menanggapinya dengan tindakan represif.
Perusahaan Freeport yang memiliki penghasilan Rp 3.000 triliun adalah sebuah bukti nyata dari hal di atas. Padahal jika hasil ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyat dan atau membayar hutang republik ini lebih dari cukup. Namun sayang orang Papua sendiri dan atau Indonesia pada umumnya hanya mendapat sampahnya3. Lantaran, dari penghasilan sebesar itu, pemerintah Indonesia hanya mendapatkan royaltu sebesar 1 persen dan 1,5 sampai dengan 3,5 persen untuk tembaga. Sedangkan dalam peraturan royalti pertambangan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), disebutkan tarif royalti untuk tembaga adalah 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen dari harga jual per tonase.
Selain itu, amanah Pasal 33 dan jewajiban Negara menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Mengacu pada undang-undang di atas, sangat jelaslah bahwa yang memiliki hak atas itu semua adalah rakyat, negara sebagai pengelolanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Agaknya, pemerintah dapat menggunakan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih dimungkinkan untuk mengamandemen kontrak karya dan perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) melalui pasal 169 B dan pasal 171. Setidaknya, negara memiliki kesempatan untuk melakukan renegoisasi dengan PT Freeport, agar tidak sampai terjadi perpanjangan kontrak hingga tahun 2041. Karena bila kpntrak karya serupa itu diteruskan bukan saja akan merugikan bangsa Indonesia, tetapi juga akan semakin memperburuk martabat bangsa kita. (*)
Oleh: En Jacob Ereste
Sumber Referensi Berita :
Pasardana.com - 11 Juni 2012 : Pemerintah Izinkan Freeport Ekspor Mineral Mentah
Kompas.com - 31 Juli 2012 : Konflik Tambang dan Tanah Bakal Terus Terjadi
Gema-nurani.com - 22 Agustus 2012 : Saatnya Negara Mengambil Alih Pengelolaan Freeport untuk Kedaulatan Bangsa
Read more: http://www.ipabionline.com/2013/03/saatnya-bangsa-indonesia-ambil-alih.html#ixzz2tSIn2a7q
Tidak ada komentar:
Posting Komentar