Selasa, 25 Februari 2014

Ujar Kebencian: Tanggapan Opini di Republika & Hidayatullah

Bila wewenang tersebut diperoleh dari MUI sendiri, maka itu berarti MUI memberikan wewenang kepada dirinya sendiri. Bila subjek pemberi wewenang adalah objek penerima wewenang itu sendiri, maka hal itu meniscayakan paradoks.
DR. (Honoris Causa), Ma’ruf Amin
DR. (Honoris Causa), Ma’ruf Amin

Harian Republika dan Hidayatullah.com Kamis 8 Nopember 2012 memuat opini bertajuk “Menyikapi fatwa MUI Jatim". Tanpa bermaksud merendahkan penulisnya, banyak kejanggalan dalam artikel tersebut, yang bila tidak ditanggapi bisa dianggap sebagai pandangan yang menjustifikasi aksi kekerasan terhadap sesama warga negara.

Tulisan ini tidak ditujukan kepada penulis artikel tersebut maupun pihak-pihak yang secara sadar menganggap pensesatan dan pengkafiran Muslim Syiah sebagai cara mengais pahala Amar Makruf dan Nahi Munkar, namun ditulis semata-mata sebagai sebuah pertanggungjawawaban moral menggunakan hak jawab.

Namun karena terbatasnya jumlah karakter dalam kolom, artikel ini hanya menanggapi paragraf pertama dalam opini tersebut.

Artikel yang ditulis DR. (Honoris Causa), Ma’ruf Amin, dibuka dengan paragraf sebagai berikut: “

“Di antara wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah menetapkan fatwa terkait masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia (lihat Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI)”

Mari kita urai paragraph tersebut secara silogistik demi mengukur validitasnya.

1. Di antara wewenang Majelis Ulama Indonesia

Bila wewenang tersebut diperoleh dari MUI sendiri, maka itu berarti MUI memberikan wewenang kepada dirinya sendiri. Bila subjek pemberi wewenang adalah objek penerima wewenang itu sendiri, maka hal itu meniscayakan paradoks.

Bila wewenang tersebut diperoleh dari luar MUI, maka wewenang tersbut haruslah diberikan oleh lembaga yang lebih tinggi. Sedangkan MUI bukan bagian dari setruktur negara, sehingga wewenang yang diklaimnya tidak valid.

Bila MUI memperoleh wewenang dari Negara dan menjadi bagian dari strukur negara, maka konskuensinya adalah agama Islam menjadi bagian dari konstitusi negara. Bila agama Islam menjadi bagian dari konstitusi, maka Negara menafikan Pancasila sebagai dasarnya.

2. Menetapkan Fatwa

Dalam konstitusi dan UUD, fatwa adalah produk hukum yurisprudensi yang menjadi wewenang lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang no 4 tahun 2004 atau yang lebih purba lagi dalam Staatsblad 1847 no 23, pasal 22 AB. Dengan demikian, produk hukum apapun yang tidak dikeluarkan oleh lembaga yudikatif tidak memiliki asas, bahkan bisa dianggap sebagai inkonstitusional.

3. “Masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia”

Secara etimologis adalah, kata akidah berasal dari bahasa Arab, aqada yang berarti mengikat. Secara terminologis akidah premis metafisik yang mengikat seseorang karena dianggap sebagai kebenaran. Premis metafisik adalah pernyataan tentang hal-hal yang bersifat subjektif yang dibentuk berdasarkan metode penalaran deduktif. Karena bersifat metafisik, maka apapun yang termuat di dalamnya tidak berada dalam area penilaian dan persetujuan pihak selain subjek yang mempercayainya. Secara logis, pernyataan siapapun atau lembaga apapun tidak bisa mengintervensi, membatalkan maupun mengukuhkannya.

4. Kebenaran

Dalam bahasa Arab, kata “al-haqq” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kebenaran”dan “yang benar”. Kata al-Haq terulang di dalam Al Qur’an sebanyak 227 kali dengan aneka ragam arti; seperti agama, Al Qur’an, Islam, keadilan, tauhid, keyakinan, kematian, kebangkitan dan lain-lain.

Dalam khazanah tasawuf dan filsafat Islam, al-Haq, yang diartikan sebagai “Yang Maha Benar” dilawankan dengan al-Khalq. Ia adalah kata yang dipahami sebagai entitas transenden yang merupakan wujud tunggal Tuhan. Karenanya, al-haq hanya bisa disandang oleh Allah SWT. Al Hallaj dan Syeh Siti Jenar adalah dua orang sufi yang terkenal dengan ucapan “ana al-Haq”-nya.

Dalam epistemologi, terutama epistemologi Islam, al-Haq yang diartikan sebagai “kebenaran” berlawanan dengan “kebatilan” (al-bathil). Kebenaran didefinisikan sebagai keselarasan proposisional, yang dikenal dengan teori koherensi. Ia juga didefinisikan pula sebagai ketersambungan antara fakta objektif dan data subjektif,yang disebut dengan teori “korespondensi”.

Dalam logika, kebenaran terdistribusi dalam premis minor, premis mayor dan premis konklusi. Logika menetapkan kebenaran sebagai validitas logis. Artinya, kebenaran tidak ditetapkan berdasarkan persetujuan maupun pernyataan seseorang dan lembaga.

5. Kemurnian

Murni adalah kata yang digunakan untuk menjadi pembeda dengan yang keruh, sebagai makna metaforis bagi sesuatu yang salah atau mengalami kekaburan. Sebagai kata predikat ia bisa disandangkan pada subjek apapun yang relevan dengannya oleh setiap subjek berdasarkan pemahaman dan penilaian subjektifnya. Karenanya, kata “murni” sering kali mengindikasikan truth claim, judgment dan pernyataan sinis yang ditujukan sebagai penilaian negatif terhadap keyakinan maupun pandangan yang bertentangan dengan keyakinan subjek. Secara kesastraan dan rasa bahasa, pengunaan kata “kemurnian” dalam alinea diatas terkesan sia-sia dan meaningless, karena kebenaran secara inheren telah menegasi kebatilan dan kekaburan. Dengan kata lain, kebenaran pastilah murni.

6. Keimanan

Iman secara morfologis adalah serumpun dengan “aman” . Karenanya, iman dianggap sebagai rasa aman atau keyakinan yang menumbuhkan rasa aman. Dalam al-Qur’an, kata iman dan kufr terulang sebanyak 17 kali.

Pada mulanya kata iman bersifat netral, bisa memuat pengertian negatif dan bahkan sering berkonotasi positif. Imbuhan predikat ‘negatif’ mesti dilekatkan bila objek yang diimani niscaya terkufurkan (tertolak). Iman harus menyandang sifat ‘positif’ bila objek yang diimaninya memang niscaya diimani. Baik, positif maupun negatif, iman adalah produk pengetahuan yang telah melewati dua tahap proses pengelolaan, tahap inteleksi (ta’aqqul) dan tahap emosi (dzawq). Dengan kata lain, iman adalah komposisi ‘tahu’ (kenal) dan ‘cinta’ (sayang).

Pengetahuan, yang merupakan produk proses inteleksi, tidaklah cukup untuk menghasilkan iman. Kecenderungan atau perasaan sangat mungkin mereduksi pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa kadang manusia memutuskan untuk melakukan tindakan yang melawan pengetahuannya sendiri. Mereka mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya karena kezaliman dan merasa tinggi hati. (QS. An-Naml : 14).

Iman memiliki dua jenis pasangan, protagonis dan antagonis. Pasangan protagonis iman adalah amal. Sedemikan erat keduanya sehingga tautan di antara keduanya bisa dikategorikan sebagai conditio sine qua non. Tidak mungkin ada iman bila di baliknya tidak ada amal. Iman tidak akan berguna bila tidak bersanding dengan amal.

Pasangan antagonis iman adalah kufur. Secara kebahasaan, kufur berarti ‘menutupi dan memendam’. Secara peristilahan, kata ini berarti menolak atau bersikap ‘anti iman’. Sebagaimana iman, pada mulanya kufur juga bersifat netral.

Karena objek iman adalah sesuatu yang bersifat metafisik, maka iman bersifat subjektif dan tidak tunduk pada penilaian subjek yang berbeda pandangan dengannya, kecuali bila masing-masing subjek pengiman menyepakati parameter dan criteria-kriteria keimanan. Bila tidak disepakati, maka setiap subjek berhak menggunakan kata “iman” betapapun berbeda dengan standar keimanan subjek lain. Karenanya, tidak ada orang maupun lembaga yang berhak menilai keimanan siapapun. Bila penilaian dilakukan oleh seseorang maupun lembaga dan menimbulkan dampak negatif bagi pihak yang dinilai secara subjektif, maka sikap tersebut dapat dianggap sebagai intervensi dan perbuatan distruktif.

7. Umat Islam Indonesia

Salah satu keistimewaan kata umat dalam bahasa Arab adalah cakupannya karena ia berlaku atas tunggal maupun plural, sebagaimana Ibrahim yang disebut “umat” (QS Al- Nahl [16]: 120). Kata umat atau ummah dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran. Ad-Damighani, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menyebutkan sembilan arti untuk kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya.

Islam didefinisikan sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Para ulama dari pelbagai aliran kalam telah berusaha memberikan rumusan Islam, yang diberi nama “Rukun Iman” dan “Rukun Islam KamiIslam adalah agama yang satu. Tapi persepsi dan cara pandang terhadapnya berbeda-beda. Setidaknya ada dua cara pandang yang merepresentasi umat Islam, yaitu Ahlussunnah dan Syiah. Masing-masing memberikan penafsiran yang berbeda, meski sama menjadikan al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai dasarnya.

Airan Sunni menjabarkan Islam dalam dua rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam. Ironisnya, banyak orang menjadikan enam rukun iman sebagai salah satu kriteria pembeda antara mukmin dan sesat. Sebagian masyarakat awam menganggap rukun iman dan rukun Islam sebagai paket yang “turun dari langit” yang dipandang final dan tak layak didiskusikan, bukan sebuah produk interpretasi tentang agama dan akidah yang tentu saja spekluatif dan subjektif. Sehingga karena mindset inilah tidak sedikit tuduhan “sesat” dengan mudah dilemparkan terhadap orang atau aliran yang berbeda dalam merumuskan prinsip akidah.

Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi. Banyak teks hadis dari jalur Sunni yang menunjukkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman tidak baku dan terbuka bagi beragam penafsiran.

Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,130 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:

Hadis Bukhari: Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan engkau percaya kepada yang ghaib.”

Hadis Muslim: Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan engkau percaya kepada yang ghaib.’”

Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya: (1) Beriman kepada Allah, (2) Kepada para malaikat, (3) Kepada kitab-Nya, (4) Perjumpaan dengan-Nya, (5) Kepada para rasul. Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar.

Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,135 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi.Salah satunya adalah sebagai berikut: “Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukah kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”

Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut: (1) Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah, (2) bersaksi Muhammad adalah rasul Allah, (3) Menegakkan shalat, (4) Membayar zakat, (5) Berpuasa di bulan Ramadhan, (6) Membayar khumus.

Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak bisa dipahami bahwa unsur-unsur tersebut adalah prinsip yang niscaya dalam keislaman dan keimanan seseorang.

Umat Islam Indonesia adalah bagian terbesar dari pendukuk dan warga negara. Karenanya, untuk mendapatkan representasi umat Islam Indonesia, diperlukan izin yang nyata. Tanpa pelimpahan hak representasi, pengunaan kata yang mencakup secara general setiap individu Muslim di Indonesia adalah modus kooptasi dan intervensi hak asasi, sebagaimana ditegaskan dalam teks undang-undang.

Indonesia adalah yang dibangun oleh para pendiri diatas empar pilar, yaitu Pancasila, UUD 45, Kehbinekaan dan NKRI. Agama apalagi aliran di dalam masing-masing agama tidak bisa dijadikan sebagai dasar dan asas yang mengikat masyarakat yang majemuk baik agama maupun aliran-aliran di dalamnya.

Atas dasar itu, pernyataan yang mendukung pernyataan MUI Jatim, yang tidak lebih dari sebuah ormas atau lembaga atau semacam perkumpulan beberapa ulama semata, yang mensesatkan aliran Syiah maupun kelompok Islam lainnya yang tidak dianut oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia, bisa ditafsirkan sebagai justifikasi terhadap aksi kekerasan terhadap para penganut Syiah di Sampang, yang terbukti dipahami oleh masyarakat awam sebagai license to kil dan instruksi penyerangan atas nama agama dan aliran.

Bila saja pensesatan hanya berupa pandangan dan sikap semata, tentu tidak perlu dikhawatirkan. Namun, bila pensesatan dilakukan secara terbuka apalagi berisikan tuduhan-tuduhan dan fitnah harus diklarifikasi dan ditanggapi secara proporsional dan bertanggungjawab agar tidak mengundang kekerasan atas nama agama dan aliran lagi di masa mendatang.

Sebenarnya menyebarkan pandangan dan sikap mendukung fatwa MUI Jatim yang secara nyata menimbulkan aksi kekerasan dan kejahatan massal yang menelan korban nyawa dan mengancam keselamatan banyak orang bisa dianggap sebagai ujar kebencian, dan perbuatan tidak menyenangkan, bahkan penodaan terhadap agama Islam.

Menyudutkan dan mensesatkan kelompok lain apalagi minoritas yang dipastikan telah dan akan menahan diri untuk melakukan aksi balas bisa dianggap sebagai sikap arogansi dan provokasi par excellent dalam sebuah negara yang dihuni oleh bangsa yang majemuk dalam agama, aliran, suku, dan semua keanekaan. Semoga para tokoh yang dijadikan panutan masyarakat tetap menjalankan fungsinya sebagai penganjur toleransi dan kebhinekaan, bukan malah mendukung pernyataan (baca : fatwa non konstitusional) yang mengancam kesatuan dan kebhinekaan, yang merupakan salah satu pilar negara tercinta, Indonesia.

“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 92)



Sumber :  http://www.islamtimes.org/vdcj8ve8auqevxz.bnfu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar