Selasa, 25 Februari 2014

Gado-gado Syiah, Wahabi dan HTI

Di bumi Syam yang belakangan diresmikan sebagai medan jihad itu kini sedang terjadi saling bunuh dan saling sembelih (ya, secara harfiah, saling sembelih dan gorok) antara berbagai kelompok jihadis yang sama-sama mengklaim sebagai paling murni mewakili mazhab Sunni.
Islamis?
Islamis?

Tulisan ini jelas bukan untuk kalangan akademis. Juga bukan untuk yang sudah banyak mengenal sejarah Islam. Tulisan ini untuk kalangan awam. Atau lebih tepatnya, untuk kalangan sangat awam yang, sialnya, merasa sudah malang melintang dalam bidang ilmu dan penelitian. Dan lebih khususnya, untuk dua-tiga “peneliti” yang belakangan ini menyebarkan opini mereka dalam berbagai media terkait dengan gerakan Islam trans-nasional, lalu secara berantakan memasukkan Syiah, Wahabi dan Hizbut Tahrir dalam satu kategori.

Bila kita teliti secara sederhana, maka kita dapat memahami bahwa para peneliti itu sudah tidak lagi punya definisi yang akurat menyangkut nomenklatur yang dipakainya.

Bagaimana mungkin seorang peneliti meletakkan “mazhab”, “anak mazhab” dan “gerakan transnasional” dalam satu nomenklatur yang sama. Lebih parahnya, =para peneliti ini juga agaknya tidak mengetahui definisi “agama” secara benar. Akibat ketumpang-tindihan tata nama itulah maka hasil-hasil penelitiannya menjadi serasa gado-gado bertabur selai stroberi. Tidak beraturan sama sekali.

Syiah adalah sebuah mazhab dalam sejarah Islam, yang dalam hal kemazhabannya, setara dan setua dengan mazhab Sunni itu sendiri.

Syiah, seperti juga Sunni, sama-sama merupakan kumpulan tafsir dan pendapat yang mengklaim mewakili jalan Islam. Keduanya juga sama-sama tidak pernah melalui sebuah deklarasi layaknya sebuah organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Wahhabi, di sisi lain, merupakan cabang dari mazhab Sunni yang menganggap dirinya paling Sunni di antara semua sub mazhab Sunni lainnya. Kedudukan Salafi Wahhabi dalam Sunni seperti kedudukan Akhbari (atau Ismaili) dalam Syiah.

Kemudian di mana persisnya letak Hizbut Tahrir? Jika kita baca sejarah organisasi ini, maka kita menemukan bahwa ia berpretensi sebagai salah satu cabang Salafi yang juga getol menampilkan diri sebagai paling Sunni di antara semua mazhab lain, terutama karena militansinya dalam menegakkan khilafah Islamiyyah di seanteri bumi Allah.

Perseteruan antara Sunni dan Syiah sebenarnya tidak sehitam putih yang digambarkan penelitian tersebut, seolah-olah ada penetrasi Syiah monolit terhadap dunia Sunni yang juga manunggal. Agaknya para peneliti itu bakal terkaget-kaget melihat apa yang saat ini terjadi di Suriah. Di bumi Syam yang belakangan diresmikan sebagai medan jihad itu kini sedang terjadi saling bunuh dan saling sembelih (ya, secara harfiah, saling sembelih dan gorok) antara berbagai kelompok jihadis yang sama-sama mengklaim sebagai paling murni mewakili mazhab Sunni.

Al-Daulah Al-Islamiyyah fi Al-Iraq wa Al-Syam (DAESH) dan berbagai milisi Salafi-Sunni bersenjata lainnya saat-saat ini berhadap-hadapan dalam sebuah pertempuran yang sengit, dengan sama-sama mengkafirkan yang lain dan menganggap musuhnya sebagai kafir pengkhianat Negara Islam atau Khilafah.

Kembali ke pokok soal kita. Bagaimana mungkin sebuah mazhab dapat dianggap sebagai bersifat gerakan trans-nasional? Apakah kriterianya di sini adalah seberapa menyebar pengikutnya di berbagai belahan dunia? Jika ini kriterianya, maka kita harus melabeli semua agama samawi sebagai “gerakan trans-nasional”? Atau agenda ingin menguasai dunia dalam suatu bentuk pemerintahan yang sama?

Tentu dengan definisi “pemerintahan” yang luas, maka sebuah gerakan keagamaan juga punya aspirasi yang sama. Tapi, jika kriteria yang dimaksud dalam penelitian itu sebenarnya untuk menjelaskan watak kekerasan yang dihalalkan untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan, maka di sinilah kita harus segera berputar arah. Kriteria ini sejauh kesepakatan banyak peneliti lebih tepat dilekatkan pada organisasi macam Al-Qaedah, yang lagi-lagi, merasa paling Sunni dibanding semua sub mazhab Sunni lain.

Sekiranya para peneliti itu punya fokus ilmiah yang tepat, maka mereka akan membandingkan falsafah, inspirasi, ideologi dan watak gerakan-gerakan Sunni dan Syiah yang berhasil meraih kekuasaan sepanjang sejarah. Untuk menyebut yang paling anyar, para peneliti itu bisa membandingkan antara gerakan Sunni Ikhwanul Muslimin dan gerakan revolusi Islam Imam Khomeini yang Syiah; antara gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengaku Sunni dan gerakan Nawab Safawi yang bermazhab Syiah; antara gerakan Hizbut Tahrir yang Sunni dan Hizbullah yang Syiah. Dan begitulah baru kita dapat memberikan gambaran yang apple-to-apple.

Atau jika mau, kita dapat membandingkan negara Iran yang bermazhab Syiah dengan Afghanistan (Malaysia?) yang bermazhab Sunni. Untuk organisasi politik, kita bisa membandingkan Partai Dawaa yang memimpin pemerintahan Irak saat ini dengan PPP yang memimpin Departemen Agama di Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. [IT/K-014]



Sumber :  http://www.islamtimes.org/vdciz3ap5t1apq2.k8ct.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar