Suatu ketika, Nabi Sulaiman keluar dari istananya; mencari udara segar di bawah rindangnya pepohonan. Embus angin menerpa baju kebesarannya, juga dedaunan hijau yang lalu melambai gemulai.
Di sela dedaunan itu, tampaklah dua ekor burung, jantan dan betina, yang sedang bercengkrama. Sang Nabi Allah yang mengerti bahasa burung itu menyimak perbincangan keduanya dengan seksama. Sang jantan merayu, “Terimalah cintaku… Bahkan kalau kau mau, akan kuhancurkan kerajaan Sulaiman, sebagai bukti cintaku padamu!”
Nabi pemilik kerajaan terbesar itu pun tertawa. “Engkau hendak menghancurkan kerajaanku, hai burung kecil?” ujarnya mengagetkan. “Oh… Maaf paduka, hamba tak bermaksud demikian. Ini hanyalah basa-basi seekor burung yang sedang kasmaran.”
Sejurus kemudian, Nabi Allah berpaling kepada sang burung betina, “Mengapa kau tolak cintanya, hai burung betina? Kasihanilah dia…”
“Bagaimana mungkin hamba terima cintanya, Paduka. Sebab, di hatinya masih bersemayam burung betina lain…”
Mendadak, rona wajah Nabi Sulaiman berubah. Ceria sebelumnya menjadi mendung yang menggayut; muram mendesak. Setengah berlari, sang nabi masuk ke gubuk yang sengaja dibangun di belakang istananya. Dengan isak dan derai airmata, dia berseru-seru, “Oh… Betapa hamba mengaku mencintai-Mu, sementara hati ini masih tertambat kepada burung betina lain… Oh…”
Benar, kita sepatutnya merasa risau, seperti Nabi Sulaiman, kendati memang itu sulit bagi kita. Sebab, kebanyakan relung hati kita telah terisi oleh “burung betina lain”, sehingga ia menjadi immune kepada-Nya. Ia menolak paparan-paparan cinta-Nya. Ya, kalau hati kita kosong dari Tuhan, maka ia akan terisi oleh selain-Nya, dan kalau ia terisi Tuhan, maka ia mesti menolak selain-Nya. Dia tak mau diduakan; tak sudi dimadu.
Namun, bukankah kita memang harus mencintai yang lain? Anak, orang tua, pasangan, misalnya? Bukankah agama mengajarkan itu? Bukankah itu manusiawi pula? Lantas, bagaimana kita dapat membangun cinta-tunggal kepada-Nya, sementara hal-hal lain itu adalah pengganggu menuju bukit-cinta-Nya? Ini tentu akan membawa kita pada ambiguitas cinta. Mestikah, karena kita membangun cinta kepada-Nya, kita membenci anak-istri kita, misalnya? Atau, kita cintai saja semuanya, Allah, anak, istri, dan lain-lain. Tapi, bukankah ini adalah kemusyrikan? Atau, kadar cinta itu kita bagi-bagi dengan porsi kecintaan kepada Allah yang paling besar. Namun, bukankah ini jenis kemusyrikan lainnya? Lagi pula, bukankah itu hanya ada dalam teori dan sama sekali tak praktis?
Suatu ketika, Imam Ali bertanya kepada putrinya yang masih belia, Sayyidah Zainab, “Anakku, apakah engkau mencintaiku?”
“Ya ayah, aku mencintai ayah,” ujar sang putri kalem.
“Apakah engkau mencintai Allah?” tanya sang ayah kemudian.
“Tentu ayah, aku sungguh mencintai Allah,” jawab sang anak penuh semangat.
“Bagaimana mungkin nak, dalam satu hati ada dua cinta?” tanya sang ayah menguji.
Dengan mata berbinar dan mantap, sang putri seakan menjawabkan pertanyaan itu untuk kita, “Benar ayah, aku mencintai ayah karena aku mencintai Allah…”
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165). [A. Ardyanta]
Di sela dedaunan itu, tampaklah dua ekor burung, jantan dan betina, yang sedang bercengkrama. Sang Nabi Allah yang mengerti bahasa burung itu menyimak perbincangan keduanya dengan seksama. Sang jantan merayu, “Terimalah cintaku… Bahkan kalau kau mau, akan kuhancurkan kerajaan Sulaiman, sebagai bukti cintaku padamu!”
Nabi pemilik kerajaan terbesar itu pun tertawa. “Engkau hendak menghancurkan kerajaanku, hai burung kecil?” ujarnya mengagetkan. “Oh… Maaf paduka, hamba tak bermaksud demikian. Ini hanyalah basa-basi seekor burung yang sedang kasmaran.”
Sejurus kemudian, Nabi Allah berpaling kepada sang burung betina, “Mengapa kau tolak cintanya, hai burung betina? Kasihanilah dia…”
“Bagaimana mungkin hamba terima cintanya, Paduka. Sebab, di hatinya masih bersemayam burung betina lain…”
Mendadak, rona wajah Nabi Sulaiman berubah. Ceria sebelumnya menjadi mendung yang menggayut; muram mendesak. Setengah berlari, sang nabi masuk ke gubuk yang sengaja dibangun di belakang istananya. Dengan isak dan derai airmata, dia berseru-seru, “Oh… Betapa hamba mengaku mencintai-Mu, sementara hati ini masih tertambat kepada burung betina lain… Oh…”
Benar, kita sepatutnya merasa risau, seperti Nabi Sulaiman, kendati memang itu sulit bagi kita. Sebab, kebanyakan relung hati kita telah terisi oleh “burung betina lain”, sehingga ia menjadi immune kepada-Nya. Ia menolak paparan-paparan cinta-Nya. Ya, kalau hati kita kosong dari Tuhan, maka ia akan terisi oleh selain-Nya, dan kalau ia terisi Tuhan, maka ia mesti menolak selain-Nya. Dia tak mau diduakan; tak sudi dimadu.
Namun, bukankah kita memang harus mencintai yang lain? Anak, orang tua, pasangan, misalnya? Bukankah agama mengajarkan itu? Bukankah itu manusiawi pula? Lantas, bagaimana kita dapat membangun cinta-tunggal kepada-Nya, sementara hal-hal lain itu adalah pengganggu menuju bukit-cinta-Nya? Ini tentu akan membawa kita pada ambiguitas cinta. Mestikah, karena kita membangun cinta kepada-Nya, kita membenci anak-istri kita, misalnya? Atau, kita cintai saja semuanya, Allah, anak, istri, dan lain-lain. Tapi, bukankah ini adalah kemusyrikan? Atau, kadar cinta itu kita bagi-bagi dengan porsi kecintaan kepada Allah yang paling besar. Namun, bukankah ini jenis kemusyrikan lainnya? Lagi pula, bukankah itu hanya ada dalam teori dan sama sekali tak praktis?
Suatu ketika, Imam Ali bertanya kepada putrinya yang masih belia, Sayyidah Zainab, “Anakku, apakah engkau mencintaiku?”
“Ya ayah, aku mencintai ayah,” ujar sang putri kalem.
“Apakah engkau mencintai Allah?” tanya sang ayah kemudian.
“Tentu ayah, aku sungguh mencintai Allah,” jawab sang anak penuh semangat.
“Bagaimana mungkin nak, dalam satu hati ada dua cinta?” tanya sang ayah menguji.
Dengan mata berbinar dan mantap, sang putri seakan menjawabkan pertanyaan itu untuk kita, “Benar ayah, aku mencintai ayah karena aku mencintai Allah…”
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165). [A. Ardyanta]
Read more: http://www.ipabionline.com/2011/10/cinta.html#ixzz2vT5sYdmd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar