Umar benar-benar tak kuasa menahan
amarah. Tekadnya sudah bulat. Hari itu juga ia harus menghabisi
Rasulullah Saw. Dengan pedang terhunus di tangan, putra pasangan
Al-Khathab dan Hanthamah ini bergegas meninggalkan rumahnya.
Di tengah perjalanan ia berjumpa dengan
Nuaim bin Abdullah, seorang teman yang memberitakan bahwa adik
perempuannya sendiri, Fathimah binti Al-Khathab dan suaminya Said bin
Zaid telah memeluk Islam. Kemarahan Umar semakin membuncah.
Dipenuhi dengan murka tak tertahan, Umar
mengalihkan arah perjalanannya. Ia bersegera menuju rumah adiknya,
Fathimah. Di depan pintu, ia menemukan Fathimah dan suaminya sedang
membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, surah Thaha.
Masih dipenuhi kemarahan, Umar
menghardik Fathimah dan memerintahkannya untuk meninggalkan Islam dan
kembali kepada tuhan-tuhan nenek moyang meraka. Di puncak amarahnya,
Umar sempat memukul Said bin Zaid dan menampar adiknya, Fathimah. Darah
mengalir dari celah bibir Fthimah.
Hati Umar luluh. Di tengah kegalauannya
itu, pandangan Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat
Al-Qur’an. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Hatinya ciut. Dengan
tangan bergetar, Umar meminta lembaran itu. Fathimah menolak.
Ibnu Hisyam—dalam Sirah-nya—meriwayatkan,
Fathimah sempat meminta Umar untuk mandi lebih duu. Setelah itu, ia
menyerahkan lembaran bertuliskan surah Thaha itu kepada Umar. Begitu
membaca ayat-ayat tersebut, perasaan Umar tenang. Kedamaian pun
menyelimutinya.
Hati Umar benar-benar luluh. Timbullah
keinginan kuat untuk segera menemui Rasulullah Saw. Ditemani Khabbab bin
Arts, Umar meninggalkan rumah Fathimah menuju rumah Al-Arqam bin Abi
Al-Arqam di mana Rasulullah Saw sedang menyampaikan dakwah secara
sembunyi-sembunyi.
Di hadapan Rasulullah Saw, Umar berlutut
menyatakan keislamannya. Kala itu tahun keenam dari kenabian. Umar
berada pada urutan ke-40 dari mereka yang mula-mula masuk Islam.
Allah SWT mengabulkan doa Rasulullah Saw yang pernah beliau lantunkan, “Ya
Allah, muliakanlah Islam dengan dua orang yang paling Engkau cintai;
dengan Umar bin Al-Khathab atau dengan Abu Jahal bin Hisyam.” (HR At-Tirmidzi). Ternyata yang lebih Allah cintai adalah Umar bin Al-Khathab.
Doa dan harapan Rasulullah ini sangat
bisa dipahami. Sebelum masuk Islam, Umar adalah orang yang paling
memusuhi Islam, sampai-sampai ada yang pernah berujar, “Meski keledainya
masuk Islam, sesekali Umar tidak akan masuk Islam.”
Sejak masuk Islam, Umarlah yang
memprakarsai era keterbukaan dalam dakwah. Dialah yang menancapkan
tonggak Al-Faruq (pembeda antara yang hak dan bathil). “Kami semua
senantiasa mulia sejak Umar masuk Islam,” kenang Ibnu Mas’ud sebagaimana
diriwayatkan Al-Bukhari.
Ibnu Mas’ud menambahkan, “Masuknya Umar
dalam Islam adalah pembukaan. Hijrahnya adalah kemenangan, kekuasaannya
adalah rahmat. Sungguh kami menyadari diri kami sebelumnya tidak mampu
melaksanakan shalat di Ka’bah hingga Umar masuk Islam. Ketika masuk
Islam, ia memerangi mereka dan membiarkan kami shalat.”
Shuhaib bin Sinan juga berkomentar,
“Ketika Umar bin Al-Khathab masuk Islam, dakwah Islam muncul dan
diserukan secara terang-terangan. Kami menjadi leluasa duduk melingkar
dan berthawaf di Ka’bah. Kami juga tertolong dari siapa saja yang
berlaku kasar kepada kami.”
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Umar bin
Al-Khathab meminta izin kepada Rasulullah, sementara itu dalam majelis
beliau banyak sekali wanita-wanita Quraisy yang bicara kepada beliau
dengan suara keras yang melebihi suara beliau. Ketika Umar bin
Al-Khathab meminta izin masuk, maka mereka bangkit dan buru-buru
mengenakan hijab (penutup seluruh tubuh) kemudian Rasulullah
mengizinkannya masuk, maka Umar masuk sementara Rasulullah tertawa, maka
ia berkata, ‘Semoga Allah membukakan gigimu (untuk tertawa) wahai
Rasulullah.”
Nabi Saw bersabda, “Aku kagum dengan
wanita-wanita yang berada dalam majelisku ini, tatkala mereka mendengar
suaramu maka dengan cepat mengenakan hijabnya.”
Umar berkata, “Padahal engkau paling
berhak ditakuti oleh mereka, wahai Rasulullah.” Kemudian Umar
melanjutkan, “Wahai musuh-musuh diri kalian sendiri, apakah kalian takut
kepadaku dan tidak takut kepada Rasulullah Saw?”
Mereka menjawab, “Ya, sebab engkau lebih tajam (kata-katanya) dan lebih keras dari Rasulullah Saw.”
Nabi Saw bersabda, “Sudahlah wahai
putra Al-Khathab, Demi Dzat yang jiwaku ada pada-Nya, tidaklah syetan
bertemu denganmu berjalan pada suatu jalan yang sama kecuali ia mencari
jalan selain jalanmu.” (HR Bukhari-Muslim).
Kemuliaan Umar tak hanya ada pada keberaniannya, tetapi juga pada kebenaran dirinya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” (HR At-Tirmidzi).
Ketika kebenaran berada pada lisan dan
hatinya, ia menepati Tuhannya lebih dari satu permasalahan. Umar pernah
berkata, “Aku menepati Tuhanku pada tiga permasalahan. Aku berkata,
‘Wahai Rasulullah, andaikan kita menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat
shalat,’ maka turunlah ayat, “…dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim tempat shalat…” (QS Al-Baqarah: 125).
Peristiwa kedua adalah turunnya ayat
tentang hijab, aku (Umar) berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya engkau
memerintahkan istri-istrimu untuk menutup tubuh (mengenakan hijab)
sebab yang berbicara dengan mereka adalah orang baik dan juga orang
yang keji,” maka turunlah ayat tentang hijab.
Ketiga adalah ketika istri-istri beliau berkumpul karena sifat cemburu terhadap beliau, maka aku (Umar) berkata, “Jika
Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya
dengan istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman,
yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang
janda dan yang perawan.” (QS At-Tahrim: 125), maka turunlah ayat ini.’
Selain tiga hal itu, masih ada beberapa
pendapat Umar yang sejalan dengan Al-Qur’an. Ia pernah mengusulkan untuk
membunuh tawanan Perang Badar dan tidak menerima tebusan dari mereka.
Lalu turunlah firman Allah SWT, “Tidak
patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta duniawi sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari
Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu
ambil.” (QS Al-Anfal: 67-68).
Umar juga pernah menyampaikan kepada Nabi agar tidak menshalati jenazah orang-orang munafik. Lalu turunlah firman Allah, “Janganlah
kalian menshalati orang yang mati dari mereka selamanya, dan jangan
kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS At-Taubah: 84).
Umar termasuk orang yang terhormat dari
suku Quraisy, dan kepadanyalah diserahkan masalah kedutaan pada masa
jahiliyah. Jika di antara orang-orang Quraisy terjadi masalah atau
mereka bermasalah dengan suku lainnya, maka yang dikirim sebagai duta
adalah Umar. Apa pun solusi yang ia berikan, baik menyebabkan jauhnya
hubungan atau penyebab kebanggaan, mereka mengirimkannya untuk
tugas-tugas tersebut.
Sejak merengkuh hidayah, Umar tak pernah
menutupi keislamannya. Keberanian dan pengabdian Umar kepada Islam
sebagai penduduk Makkah yang paling berpengaruh, menaikkan semangat
juang kaum Muslimin lainnya. Keberanian Umar dalam memisahkan antara
kebenaran dan kebathilan membuatnya dijuluki Al-Faruq, yang berarti pemisah antara kebenaran dan kebathilan.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar
adalah sahabat dan penasihat terdekat. Hal ini yang membuat Umar menjadi
nominator terkuat untuk meneruskan kekhalifahan Abu Bakar. Maka, ketika
Abu Bakar wafat, kaum Muslimin sepakat membai’at Umar sebagai khalifah
baru.
Saat pembai’atannya sebagai khalifah, ia
berkata, “Wahai kaum Muslimin, kalian semua memiliki hak-hak atas
diriku, yang selalu bisa kalian pinta. Salah satunya adalah jika seorang
dari kalian meminta haknya kepadaku, ia harus kembali hanya jika haknya
sudah dipenuhi dengan baik. Hak kalian yang lainnya adalah permintaan
kalian bahwa aku tidak akan mengambil apa pun dari harta negara maupun
dari rampasan pertempuran.
Kalian juga dapat memintaku untuk
menaikkan upah dan gaji kalian seiring dengan meningkatnya uang yang
masuk ke kas negara, dan aku akan meningkatkan kehidupan kalian dan
tidak akan membuat kalian sengsara. Juga merupakan hak, apabila kalian
pergi ke medan pertempuran, aku tidak akan menahan kepulangan kalian,
dan ketika kalian sedang bertempur, aku akan menjaga keluarga kalian
laksana seorang ayah.
Wahai kaum Muslimin, bertakwalah selalu
kepada Allah SWT, maafkan kesalahan-kesalahanku dan bantulah aku dalam
mengemban tugas ini. Bantulah aku dalam menegakkan kebenaran dan
memberantas kebathilan. Nasihatilah aku dalam pemenuhan
kewajiban-kewajiban yang telah diamanahkan Allah SWT…”
Umar merupakan pemimpin dengan keahlian
administrasi yang sangat baik, pemimpin politik, dan jenderal militer
yang cerdas. Ketidakegoisan dan kekukuhannya dalam menegakkan kebenaran
dan hak-hak rakyat, membuatnya dihargai dan memiliki posisi penting
dalam sejarah.
Di antara kontribusi Umar bin Al-Khathab
untuk Islam ialah ia beserta pasukan Islam berhasil membentangkan
kejayaan Islam dari Mesir, Syam, Irak, sampai kerajaan Persia. Ia
beserta para sahabat lainnya berhasil mengembangkan wilayah Islam. Ia
berhasil membangun administrasi yang baik dalam pemerintahan Islam.
Daulah Islamiyah menunjukkan adanya peningkatan perbaikan selama
pemerintahannya.
Sammak bin Harb menuturkan, “Umar bin Al-Khathab sangat gesit, seakan ia naik kuda sementara orang-orang berjalan kaki.”
Ia orang pertama yang mencetuskan ide
tentang perlunya dilakukan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia dikenal
sebagai sahabat yang berani melakukan ijtihad dengan tetap menjunjung
tinggi prinsip-prinsip musyawarah. Umar tidak mengharap dicintai oleh
besar, orang kaya, bahkan kerabatnya. Ia juga tidak menganggap rendah
anak kecil maupun orang fakir.
Umar mampu memadukan antara ilmu dan
amal. Ia melaksanakan kepemimpinan dan keadilan dalam batas yang tidak
mampu dilakukan oleh para penguasa dan raja biasa. Di sisi lain, ia
mempunyai sifat zuhud dan kesabaran yang tidak dimiliki para raja bahkan
orang-orang ahli zuhuh sekalipun.
Sebagai seorang khalifah, hidup sahabat
Nabi yang dikenal juga dengan Abu Hafsh ini, benar-benar diabdikan untuk
mencapai ridha Ilahi. Ia berjuang demi kepentingan rakyat, benar-benar
memerhatikan kesejahteraan mereka. Di malam hari, ia sering melakukan
investigasi untuk mengetahui keadaan rakyat jelata yang sebenarnya.
Suatu malam, ia menemukan sebuah gubuk
kecil. Dari dalam samar-samar terdengar suara tangis anak-anak. Umar
mendekat dan memerhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat
meliht seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya. Ibu itu kelihatan
sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang ibu
berkata, “Tunggulah, sebentar lagi makanannya akan matang!”
Selagi Umar memerhatikan dari luar, sang
ibu terus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa
makanan tak lama lagi akan matang. Umar penasaran. Setelah memberi salam
dan meminta izin, ia msauk dan bertanya, “Mengapa anak-anak Ibu tak
berhenti menangis?”
“Mereka kelaparan!” jawab sang ibu.
“Mengapa Ibu tak berikan makanan yang sedang Ibu masak sedari tadi?”
“Tak ada makanan. Periuk yang sedari
tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah
mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti
menangis karena kelelahan dan tertidur.”
“Apakah Ibu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.
“Ya. Saya tidak memiliki keluarga dan
suami tempat saya bergantung. Saya sebatangkara,” jawab si ibu dengan
nada datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.
“Mengapa Ibu tidak meminta pertolongan
kepada khalifah?” Mungkin ia dapat menolong Ibu dan anak-anak dengan
memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan sangat membantu kehidupan Ibu
dan anak-anak,” kata Umar menasihati.
“Khalifah telah berbuat zalim kepada saya…” jawab ibu itu.
“Bagaimana khalifah bisa berbuat zalim kepada Ibu?” tanya Umar.
“Saya sangat menyesalkan
pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan
nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang senasib dengan saya,” jawab si
ibu yang demikian menyentuh hati Umar.
Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali.”
Di pengujung malam yang telah larut itu,
Umar bergegas menuju Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum
besar di pundaknya. Aslam, sahabatnya, membantu membawa minyak samin
untuk memasak.
Karena jarak antara Madinah dengan rumah
sang ibu cukup jauh, keringat bercucuran dari tubuh sang khalifah.
Maka, Aslam berniat membantu Umar mengangkat karung itu. Dengan tegas
Umar menolak tawaran Aslam. “Tidak akan kubiarkan kau memikul
dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan aku membawa karung besar ini
karena aku merasa begitu bersalah atas apa yang telah terjadi pada si
ibu beserta anak-anaknya,” kata Umar dengan napas tersengal.
Maka ketika khalifah menyerahkan
sekarung gandum besar kepada si ibu dan anak-anaknya yang miskin, betapa
gembiranya mereka menerima bahan makanan dari ‘lelaki yang tak dikenal
ini’. Kemudian lelaki itu memberitahukan si ibu untuk menemui khalifah
besok, untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.
Betapa terkejutnya si ibu, ketika
keesokan harinya ia berkunjung ke Madinah. Dia menemukan kenyataan bahwa
‘lelaki yang tak dikenal’ itu tak lain Khalifah Umar sendiri.
Umar adalah profil seorang pemimpin yang
sukses, mujtahid (ahli ijtihad) yang ulung, dan sahabat Rasulullah yang
sejati. Ia meriwayatkan 527 hadits.
Umar memiliki 12 anak, enam laki-laki
dan enam perempuan. Mereka adalah Abdullah, Abdurrahman, Zaid,
Ubaidillah, Ashim, Iyyadh, Hafshah, Ruqayyah, Fathimah, Shafiyah,
Zainab, dan Ummu Walid.
Kesuksesannya dalam mengibarkan
panji-panji Islam mengundang rasa iri dan dengki di hati musuh-musuhnya.
Salah seorang di antara mereka adalah Fairuz, Abu Lu’lu’ah. Mantan
pembantu Mughirah bin Syu’bah ini telah mengakhiri hidupnya dengan cara
yang amat tragis. Ia menikam Umar tatkala memimpin shalat Subuh pada
Rabu 26 Dzulhijjah 23 H.
Umar wafat pada hari Ahad, dalam usia 63
tahun, persis seperti usia Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar Ash-Shiddiq,
setelah menjabat selama 10 tahun enam bulan dan empat hari. Sebelum
meninggal, ia sempat memilih enam orang sahabat Nabi sebagai formatur
untuk menentukan khalifah setelahnya. Mereka adalah Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman
bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah. Berdasarkan hasil rapat yang
digelar di rumah Musawwar bin Mukhrimat itu, terpilihlah Utsman bin
Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Al-Khathab.
Keberhasilan Umar bin Al-Khathab menjadi
khalifah, ditandai juga oleh kesuksesannya memperluas wilayah Islam.
Dengan alasan inilah Michael Hart menempatkan Umar bin Al-Khatab pada
urutan ke-51 dalam bukunya 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
[Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar